Rabu, 26 Januari 2011

Crime (n) = perbuatan jahat
Shocked (v) = terkejut
Influence (v) = mempengaruhi
Conspire with (v) = bersekongkol dengan
Teenagers = ABG (Anak Baru Gede), remaja umur belasan
Rapist = pemerkosa
Break the law = melanggar hukum
Cultural shock = kejutan kultural/budaya
Slaughter (v) = membantai
Mob life = kehidupan rakyat banyak
Lack of = kekurangan
Parental attention = perhatian orang tua
Heartlessly (adv) = dengan tanpa perasaan

Valid = mempunyai kekuatan hukum
Validate (v) = membuat sah menurut hukum
Validation certificate = dokumen yang sah menurut hukum
Verdict (n) = keputusan hakim, a verdict of guilty = memberi keputusan Salah.
Verification = pembenaran dan pihak yang berwenang
Verify (v) = menyatakan kebenaran di bawah sumpah
Violate the law (v) = menyalahi hukum
Will = surat wasiat
Withthe option of.... = subsider
Witness box = ruang duduk untuk para saksi di Pengadilan
Witness for the defense = saksi pembelaan
Witness for the prosecution = saksi untuk pengusutan (yang memberatkan terdakwa)
Witness = saksi, to bear witness memberi kesaksian yang membolehkan atau melarang seseorang berbuat sesuatu

C. Legal Related Terms
01. Indonesian Bars Association = IKADIN
02. Labor Dispute Settlement Court = P4
03. Draft Regional Budget = RAPBD
04. Draft State Budget = RAPBN
05. Draft Decree = RANTAP
06. Draft Decision = RANTUS
07. Bill = RUU
08. Neighborhood Security System = SISKAMLING
09. The Decree of People’s Consultative Assembly = TAP MPR
10. Political Detainees = TAPOL
11. Anti Bandit Special Team = TEKAB
12. Public Security and Order = KAMTIBMAS
13. Corruption, Collusion and Nepotism = KKN
14. Marriage, Repudiation, Divorceand Reconciliation = NTCR
15. State Policy Guidelines = GBHN
16. People’s Consultative Assembly = MPR
17. House of Representatives = DPR
18. Supreme Court = MA
19. Supreme Advisory Council = DPA
20. The Commission of General Election = KPU
21. Political Party = PARPOL
22. General Election = PEMILU
23. The National Commission on Human Rights = KOMNAS HAM
24. Mass Organization = ORMAS
25. The Indonesian Bank Restructuring Agency = BPPN
26. State Intelligence Body/Agency = BIN
27. Central Bureau of Statistics = BPS
28. State Owned-Company/Corporation = BUMN
29. VLegal Aid Institution/Body = LBH
30. Criminal Code = KUHP
31. Code of Business Law = KUHD
32. New Order Government = Pem. Orba
33. Indonesian Lawyers Association = IKAHI
34. High Prosecutors Office = KEJAKTI
35. Law of Criminal Procedure = KUHAP
36. Criminal Laboratory = LABKRIM
37. Extraordinary Military Tribunal = MAHMILUB
38. High Military Court = MAHMILTI
39. The Corruption Eradication Commission = KPK
40. The Commission on Corruption Removal = KPK
41. Statutes/Rules of Association = AD/ART
42. Auxiliary Police = BANPOL
43. The Constitutional Court = MK
44. State Audit Body = BPK

Rabu, 19 Januari 2011

sosiologi

Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama
Cetakan I, September 2010
Penyunting dan pembaca pruf: Hardiansyah Suteja

Diterbitkan oleh Penerbit Mizan (Anggota IKAPI)
PT Mizan Publika
Jl. Pun Mutiara Raya No. 72,
Cilandak Barat, Jakarta Selatan 12430
TeIp. (62-21) 75910212, Faks. (61-21) 75915759
http://www.mizan.com
Buku ini merupakan penerbitan ulang yang berasal dari dua buku berjudul Fikih Antikorupsi: Perspektif Ulama Muhammadiyah, disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, dan NU Melawan Korupsi: Kajian Tafsir dan Fiqih, disusun oleh Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi PBNU, yang diterbitkan oleh Muhammadiyah, NU, dan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan pada 2006.

MUHAMMADIYAH Tim Penulis Prof. Syamsul Anwar, Prof. Saad Abdul Wahid, Dr. Hamim Ilyas, Muhammad Azhar, M.Ag., Supriatna, M.Si., Mifedwil Jandra, M.Ag., APU, Evi Sofia Inayati, Mohammad Mas’udi, M.Ag., Fu-ad Zen, M.Ag., Afifi Fauzi Abbas, M.Ag., Susiknan Azhari, M.Ag., Wawan Gunawan A. Wahid, M.Ag., Dahwan, M.Si. Tim Perumus Muhammad Ziyad, Endang Mintarja, Nur Achmad, M. Hilaly Basya Susunan Pokja Antikorupsi PP Muhammadiyah Prof. Abdul Munir Mulkhan (Koordinator) dan Dr. Rizal Sukma (Wakil Koordinator)

NAHDLATUL ULAMA (NU) Penanggungiawab KH. A. Hasyim Muzadi Wakil Penanggung Jawab H. M. Rozy Munir, M.Sc., H. Abbas Mu’in, MA. Penyusun Dr. KH. Moh. Masyhuri Na’im, Dr. Nur Rofiah, Imdadun Rahmat, M.Si. Tim Perumus Dr. KH. Moh. Masyhun Na’im, Dr. Nur Rofiah, Drs. Masrur Ainun Najih, Drs. Abdul Mun’im DZ, lmdadun Rahmat, M.Si. I Kontributor Ahil Drs. KH. Hasyim Abbas, KH. Afifuddin Muhajir, MA., KH. Ubaidillah Shodaqoh, Prof. Abu Hafsin ‘Umar, Drs. KH. Syaifuddin Amsir

Didistribusikan oleh:
Mizan Media Utama (MMU)
JI. Cinambo (Cisaranten Wetan) No.146
Ujung Berung, Bandung 40294
TeIp. (62-22) 7815500, Faks. (62-22) 7802288
E-mail: mizanmu@bdg.centrin.net.id
Perwakilan:
Jakarta: (021) 7874455, 78891213; Surabaya: (031) 8281857, 60050097; Pekanbaru: (0761)
20716, 29811; Medan (061) 7360841; Makassar: (0411) 873655; Malang: (0341) 567853;
Palembang: (0711) 815544; Yogyakarta (0274) 885485; Serang: (0254) 214254; Bali (0361)
482826; Bogor: (0251) 8318344; Banjarmasin: (0511) 3252374
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalani Terbitan (KDT)
Koruptor Itu Kafir: Telaah Fiqih Korupsi menurut Muhammadiyah dan Nahdhlatul Ulama/
Majelis dan Tajdid PP Muhammadiyah, Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi
PBNU, dan Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan—Jakarta: Mizan Publika. 2010.
lii + 194 hIm; 13 x 20,5cm
Indeks.
ISBN: 978-602-96864-2-5
1. Korupsi (Hukum Islam). I. PP Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tajdid.
II. PBNU, Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi. IlL Kemitraan—Partnership




SAMBUTAN
KEMITRAAN BAGI
PEMBARUAN TATA PEMERINTAHAN


Salah satu cita dan pendirian Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan (Kemitraan) adalah mewujudkan Indonesia yang bebas dan korupsi. Oleh karena itu, program anti korupsi merupakan urat nadi dan seluruh program cluster yang ada di Kemitraan. Disamping itu, program anti korupsi juga didekati dan berbagai bidang, mulai dan penguatan kelembagaan pemerintah, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan penegak hukum, sampai dengan penguatan lembaga swadaya masyarakat, akademisi dan para pemuka agama.
Buku yang ada dihadapan Bapak/Ibu pembaca adalah salah satu hasil kerjasama antara Kemitraan dengan para tokoh agama Islam yang berasal dari Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Buku ini ditulis oleh para pakar Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama, serta disusun kembali oleh editor Kemitraan dengan harapan dapat memperkaya khasanah kepustakaan anti korupsi di Indonesia, khususnya dan sudut pandang teologi I slam. Sebab buku dengan tema serupa masih sangat jarang ditemui.
Dilihat dari segi isi dan cakupannya, buku ini tidak saja menjelaskan kajian korupsi dan kaca mata Islam, tapi menjelaskan juga pendekatan. yang berbeda antara Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama dalam melihat korupsi. Oleh karena itu, dilihat dan segi pendekatan, buku ini sangat khas karena sekaligus mengantar pembaca untuk menyaksikan pendekatan yang berbeda, tapi kesimpulan yang dicapai sama: bahwa korupsi bertentangan dengan nilai-nilai dan hukum Islam.
Untuk itu, Kemitraan mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya buku ini, khususnya kepada para penulis dan editor yang telah meluangkan waktu untuk mengedit dan memformulasinya kembali, sehingga isi dan cakupannya sesuai dengan situasi kekinian perjuangan pemberantasan korupsi di Indonesia. Kemitraan juga mengucapkan penghargaan yang tinggi pada Penerbit Mizan yang telah bersedia menerbitkan buku ini, sehingga dapat dibaca oleh khalayak luas.
Wicaksono Sarosa, PhD
Direktur Eksekutif





SAMBUTAN
KETUA UMUM PIMPINAN PUSAT
MUHAMMADIYAH


Good governance sudah menjadi istilah politik populer. Sekarang, istilah itu lebih disukai daripada istilah lama, clean governance. Pemerintah yang baik tentu good dalam pengertian lebih luas. Mungkin dalam bahasa Arab padanan good itu adalah khair. Jadi, jika ada istilah khair al-ummah, mungkin padanan kata untuk good governance adalah khair alhukUmah, pemerintah yang baik yang mau menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pemerintah.
Good governance merupakan salah satu pilar dan prasyarat bagi terwujudnya civil society. Civil society atau masyarakat madani itu sendiri selain menjadi bagian dan masyarakat, juga mengandaikan terciptanya kebaikan di lingkungan pemerintahan. Pemerintah yang mendapat amanat dan rakyat memiliki wewenang untuk mengelola kemajemukan dan memberi pelayanan kepada masyarakat melalui sistem hukum. Penegakan supremasi hukum merupakan hak yang diberikan rakyat kepada pemerintah. Dengan demikian, negara memiliki posisi sangat sentral dan strategis karena bisa dikatakan bahwa baik-buruknya kehidupan berbangsa dan bernegara sangat bergantung pada perilaku penyelenggara negara atau pemerintahan. Oleh karena itu, good governance sebagai sebuah cita-cita masyarakat madani perlu ditegakkan.
Dalam konteks Indonesia, hal tersebut yang menjadi masalah mendasar dalam kehidupan bernegara kita. Negara kita lemah bahkan hampir tidak ada good-governance. Hal tersebut dapat dilihat dari manifestasinya, yakni merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tiga masalah tersebut selama ini kita saksikan sebagai ibu dari segala masalah, umm al-qadhayat, karena implikasinya sangat efektif dalam merusak kehidupan masyarakat. Praktik korupsi, pada hemat saya, selain merupakan praktik merugikan negara, karena mengambil uang negara, juga merupakan tindakan dosa besar.
Lemahnya good governance yang terjadi di tanah air antara lain karena kelemahan landasan kultural (culture bases) untuk hidup lebih baik dan sehat. Jika kita melakukan introspeksi (muhasabah), maka kita harus berani mengatakan bahwa kehadiran budaya korupsi di mana-mana dan tiadanya good governance itu merupakan gejala kebelumsuksesan dakwah Islamiah. Apalagi jika mengingat bahwa para pelaku korupsi itu sebagian besar beragama Islam, maka yang paling bertanggung jawab tentu adalah gerakan-gerakan keagamaan itu sendiri.
Dalam konteks seperti itulah sebenarnya Muhammadiyah sebagai salah satu gerakan dakwah amar ma’ruf dan nahi munkar tergerak untuk ikut serta memprakarsai sebuah gerakan baru, gerakan memberantas korupsi, dan mewujudkan good governance. Walaupun gerakan tersebut sejak 1970-art sudah banyak dilakukan berbagai kalangan, tetapi sejauh ini belum efektif dan hanya menjadi tetesan air di padang pasir. Oleh karena itu, kita mencoba melakukan hal itu sekali lagi melalui gerakan dakwah Muhammadiyah, dengan sebuah sikap mantap, sikap tidak ragu-ragu, yang tidak 1anya melihat bahwa gerakan tersebut akan menyulitkan posisi Muhammadiyah. Kita meyakini bahwa qul al-haqq walau kana murran (katakanlah yang benar meskipun pahit rasanya), dan memang secara subtansial sangat baik untuk mengatakan yang benar meski pahit.
Dengan siasat-siasat tertentu, saya yakin Muhammadiyah akan meraih sebuah citra moral yang semakin tinggi di hadapan masyarakat lantaran .tampil dengan segala keberanian dan keistikamahannya untuk menggulirkan gerakan antikorupsi. Muhammadiyah tidak hanya akan meraih citra moral, tetapi sekaligus akan meraih political leverage, sebuah tingkat pengaruh politik yang tinggi dalam masyarakat, lantaran banyak yang tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghadapi praktik korupsi yang sudah sangat membudaya itu. Maka dan itu, saya menyambut baik penerbitan buku yang merupakan hasil halakah tarjih ini dengan harapan semoga buku ini dapat menjadi panduan bagi masyarakat Muhammadiyah dan umat Islam pada umumnya berkenaan hal-hal yang terkait dengan korupsi dalam perspektif hukum Islam. Buku ini secara luas membahas tidak hanya dampak-dampak negatif korupsi bagi kehidupan bermasyarakat dan bernegara, tetapi juga status hukum dan sanksi korupsi dalam hukum Islam serta strategi-strategi praktisnya untuk memberantas korupsi.
Kita memang harus menempuh berbagai cara untuk melakukan sosialisasi yang sangat luas, dengan bersandar pada ajaran agama, bahwa korupsi merupakan dosa besar, korupsi sebagai ibu dan berbagai masalah, serta merupakan pengkhianatan terhadap negara. Dan, yang tidak kalah penting juga untuk disampaikan, bahwa perilaku korupsi itu akan memperoleh laknat Allah, karena ia’nat Allah ‘ala al-rasyi wa al-murtasyi (laknat Allah untuk penyuap cari penerima suap).
Bagi kami di Muhammadiyah, korupsi dapat dikatakan merupakan bagian dan TBC (tahayul, bid’ah, dan churafat) modern. Korupsi adalah syirik modern karena tidak lagi meyakini Allah sebagai Tuhan, tetapi menjadikan uang sebagai sumber kekuatannya, the power of money. Saya berharap, melalui buku ini Muhammadiyah bisa menyumbang dalam perwujudan masyarakat madani di Indonesia yang juga merupakan bagian dan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Mudah-mudahan ia membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh bangsa Indonesia.[]
Prof. Dr. H. M. Din Syamsudin







SAMBUTAN
KETUA KELOMPOK KERJA GNPK-PP
MUHAMMADIYAH

Banyak orang mendebat ketika mendengar pernyataan bahwa korupsi di negeri ini sudah membudaya. Tetapi, kenyataannya, banyak fakta yang mendukung pernyataan tersebut. Banyak pelaku korupsi yang memandang tindakannya sebagai hal wajar lantaran itu tuntutan keadaan, tuntutan ekonomi, atau atas jasa layanan yang dia berikan. Publik melihat tindakan yang disebut korup itu juga kurang lebih dalam pengertian serupa. Bahkan pada titik tertentu reaksi publik terhadap soal korupsi itu sangatlah berbeda dibanding dengan reaksi ketika melihat maling, pelaku zina, atau pembuat kartun Nabi yang menghebohkan itu.
Gejala sosial tersebut memunculkan pertanyaan yang menggoda kepercayaan keagamaan dan tradisi. Apakah tabiat orang Indonesia itu berperangai buruk, sedangkan warga negeri yang tingkat korupsinya tidak separah negeri ini dilahirkan sebagai orang baik? Pertanyaan tersebut mengandung pertanyaan lain tentang apa dan bagaimana peran sekaligus peluang kita terhadap aksi pemberantasan korupsi.
Masalah korupsi dan tidak korupsi bagi seseorang atau sebuah bangsa bukanlah persoalan bawaan lahir atau takdir bahwa seseorang atau bangsa itu baik atau buruk. Persoalannya terletak pada kesadaran dan penegakan hukum dalam kehidupan seseorang atau bangsa itu sendiri. Sementara itu, ada orang berseloroh melihat perilaku hukum dan warga negeri seribu pulau ini dengan menyatakan bahwa warga Nusantara ini adalah keturunan ahli tafsir.
Mudah kita lihat bahwa suatu ketentuan hukum seberapa baik pun dengan gampang ditafsirkan warga negeri ini, baik itu pejabat hukum maupun publik. Tujuan utamanya ialah menghindari sanksi hukum atas tindakan yang telah dia lakukan dan yang akan dilakukan, atau untuk bisa menghukum orang lain. Hukum yang seharusnya objektif menjadi supersubjektif. Seorang tidak tunduk pada hukum legal, tetapi tunduk pada pejabat atau penegak hukum yang bisa menafsir suatu ketentuan hukum dan a s/d z. Tindakan maksiat (ma’shiyat) atau salihat (shalthat) pun sebatas tafsir si penafsir sehingga mudah memasukkan tindakan orang lain yang tergolong maksiat dan tindakannya sendiri atau kelompoknya sebagai salihat.
Ada baiknya kita tidak bermimpi bahwa korupsi di negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia ini akan habis, supaya kita tidak kehilangan harapan tentang sejarah kehidupan yang lebih baik pada masa mendatang. Sebaiknya kita tidak menempatkan fakta korupsi yang berlangsung di semua tingkat kehidupan, di desa dan di kota, baik itu yang dilakukan oleh orang yang pada permukaannya terlihat sebagai individu yang taat beribadah atau tak beragama, sebagai kejadian luar biasa. Mengapa? Supaya kita tidak kehilangan kepercayaan kepada Tuhan dan agama-Nya.
Sejarah kehidupan adalah kisah detail terang-benderang berkenaan peperangan kurusetra. Kehidupan duniawi adalah dinamika pergumulan antara setan dan malaikat yang terjadi detik per detik dalam setiap detak jantung dan aliran darah manusia. Kita tak perlu heran saat melihat kehidupan sebuah negeri atau seseorang yang selama ini kita sebut kafir, bahkan anti-Tuhan, tetapi bersih, sehat, makmur, gembira, aman dan tenteram, dan tak ada konflik atau kekerasan. Tindak korupsi dalam kehidupan negeri itu hampir berada pada titik nol, tetapi kita mudah menyaksikan gejala yang sebaliknya dan sebuah negeri yang mengaku percaya penuh kepada hukum Tuhan.
Gejala atau fakta kehidupan seperti di atas perlu dicermati dan ditelaah secara kritis. Sikap semacam itu perlu supaya tidak mudah menyimpulkan bahwa dunia ini memang cobaan bagi orang-orang saleh dengan keadaan susah, menderita, berpenyakitan, dan tidak aman. Sebaliknya, dunia ini adalah cobaan bagi orang-orang kafir dengan hidup makmur, penuh suka-cita, dan aman. Orang pun berseloroh, “di dunia saja sudah hidup susah dan menderita, nanti sesudah mati belum tentu masuk surga!”
Boleh jadi orang-orang atau warga negeri yang selama ini kita sebut kafir itu menjadikan hukum publik sebagai “agama” dan “tuhannya” sehingga ketaatan mereka terhadap ketentuan hukum begitu tinggi. Rasa memiliki produk hukum itu muncul lantaran mereka sendiri yang membuat ketentuan hukum tersebut, selain pelanggaran atas ketentuan hukum itu sanksinya langsung mereka rasakan. Tidak seperti tindakan dosa terhadap yang kita percayai sebagai Tuhan, tatkala Tuhan itu kita pahami sebagai Maha Pemaaf dan Pengampun atas segala dosa.
Semua tindakan korup atau salihat dalam praktik hidup orang taat beragama atau kafir tersebut berkaitan dengan apa yang kita maksud dengan agama, apa arti Tuhan dan ajaran sucinya, apa yang kita maksud dengan surga dan neraka, setan dan malaikat. Lebih dan itu, semua bergantung pada tafsir tentang bagaimana kita memandang orang lain, memandang hidup duniawi dan sesudah mati, dan bagaimana perbuatan Tuhan dalam sejarah ciptaan-Nya.
Pikiran di atas bukan soal liberal atau konservatif, tetapi sebuah fakta yang perlu ditelaah agar kita tidak mudah salah paham. Berdasar pada sikap itu, ketika menyiapkan kata pengantar buku ini, saya sedang menulis catatan selama satu bulan tinggal di suatu negeri kecil dengan kekuatan besar. Negeri yang selama ini kita sebut sekular menempatkan agama tidak sepenting bagi warga Nusantara Itu menampilkan sisi lain kehidupan yang mungkin menarik disimak.
Gagasan dan catatan itu muncul di sela-sela waktu saya menyelesaikan tugas sebagai Visiting Research Fellow di sebuah perguruan tinggi terkemuka. Perguruan tinggi itu merupakan lembaga pendidikan dan sebuah negeri seluas Daerah Istimewa Yogyakarta, tetapi memiliki daya pikat dan kekuatan besar. Berikut catatan pendek dengan tema “Islam Natural dan Islam Kultural” yang mungkin penting dibaca sebagai pengantar buku tentang korupsi ini.
Fenomena menarik dalam melihat kehidupan warga di negeri sekuler dan dekat itu ialah bagaimana mengelola alam ciptaan Tuhan dan makhluk tecerdas-Nya sebagai tanda syukur kepadi-Nya. Meski pemeluk Islam di negeri itu minoritas, nilai-nilai Islam bisa disaksikan hampir di semua tempat dan sektor hidup keseharian warganya. Mayoritas warga negeri itu jelas tidak menyebut dirinya sebagai Muslim dan mungkin alergi atas kosakata itu, tetapi praktik kehidupan mereka mencerminkan nilai-nilai ajaran Islam.
Hari-hari pertama menginjakkan kaki di negeri seberang Sumatra itu terasa seperti di bumi Eropa atau Amerika tanpa guyuran salju. Lalu-lintas tertib dan rapi tanpa kemacetan, pejalan kaki dihormati bagai ratu. Burung-burung gagak dan jalak hitam berparuh kuning yang di negeri kita sudah sulit ditemui, menyapa dengan lincah tanpa rasa takut menemani sarapan pagi di food court semua kawasan.
Hari-hari berikutnya, penulis berada di kawasan sebuah kampus perguruan tinggi terkemuka. Kampus yang terletak di kawasan pinggiran ujung terjauh sisi barat itu bak kawasan hutan kota dengan rumput hijau diselingi hampir semua jenis pepohonan yang ada di rimba Kalimantan yang tertata rapi dan subur. Memasuki kawasan kampus bagai melancong ke sebuah taman indah yang segar dan sehat, bak sebuah “kepingan surga”.
Ketika kita menunjukkan alamat ke supir taksi untuk meminta jasa antarnya, dengan ringan dia menunjukkan jalan sampai tujuan tanpa upaya manipulasi agar kita membayar mahal. Ketika kita bertanya ke penjual telepon seluler bekas tentang bagaimana mengoperasikan telepon selular dan nomor baru yang kita beli di tempat lain, dengan ringan dia menjelaskan secara detail tanpa kesan kecewa karena tidak bell apa-apa atau tidak bell telepon selular di tempatnya. Tempat yang sering kita sebut negeri maksiat itu menyodorkan kehidupan yang terlihat nyaman.
Saya bertanya kepada seorang teman asal Klaten yang sudah tujuh tahun tinggal di negeri singa ini, bagaimana menyampaikan rasa terima kasih kepada orang yang memberi layanan yang baik. Apa kita bisa memberi hadiah barang atau uang? Dia berkata pendek, “ucapkan terima kasih (thank you) saja!” Jika ketahuan atasan orang itu bahwa seseorang telah memberikan sesuatu atas jasa layanannya, maka orang itu akan dipecat, dan yang memberi pun akan memperoleh ganjaran serupa jika dia pegawai pemerintah atau pegawai pada lembaga tertentu
Fakta tersebut mengundang pertanyaan apakah “Setan” tidak bekerja dengan baik di negeri sekular dan kafir itu? Mungkinkah setan sedang melakukan bujuk-rayu agar kita menjadi budaknya, atau boleh jadi setan sudah menjadi teman sehingga tidak lagi menggoda? Atau kita salah mengartikan apa itu kebaikan dan keburukan, kejahatan dan kesalehan? Atau kita salah memahami Kitab Suci?
Pagi hari, mahasiswa bergegas dan asrama-asrama menuju ke kampus dengan pakaian seperti sedang melancong secara tertib hampir tanpa gurauan. Mereka naik shuttle bus yang terus mengitari kampus hingga tengah malam atau SBS Transit. Para mahasiswi dengan santai menyusuri jalan sepi di hutan kampus dengan aman, walaupun pakaian mereka seperti hendak nonton film. Jika makan slang atau makan malam tiba, mereka memenuhi kantin-kantin yang tersebar di antero kampus. Pakaian norak yang mereka pakai yang di negeri kita mungkin akan dicap perempuan yang tidak baik, ternyata tidak berhubungan dengan perilaku tertib dan tindak maksiat (dalam arti melanggar tertib sosial).
Ketika haus, mahasiswa bisa langsung minum dan keran-keran yang tersedia di kampus, sedangkan bagi masyarakat umum bisa minum di keran-keran di pelbagai tempat umum. Air untuk mandi dan mencuci di negeri singa ini jauh lebih jernih dan sehat daripada air PAM di Tanah Air. Pada jam-jam tertentu, bus dan kereta melintas di halte dan stasiun hampir persis pada hitungan menit yang terpampang di papan pengumuman. Penumpang pun mengantri dengan tertib dan karcis yang digunakan model kartu elektronik.
Menyusuri pasar daging, ikan, dan sayuran, serta “Warung-warung” (food court) di kawasan dengan dialek Indonesia dan Jawa yang medok, sulit dicari kerumunan lalat atau kecoa serta bau menyengat. Mustahil mendengar dengingan nyamuk dan lalat atau menemukan’ semut di apartemen yang terletak di hutan kampus atau di pusat-pusat belanja ikan. Lantai pasar yang di tempat kita disebut pasar tradisional itu begitu bersih tanpa sampah menumpuk.
Secara periodik, pasar tersebut ditutup dan .dibersihkan. Jalan-jalan umum mulus dengan mobil mengilap Seperti tanpa debu dengan udara yang begitu bersih dan segar. Muncul pertanyaan menggoda melihat fakta empirik di negeri singa tersebut. lnikah kehidupan negeri sekulan yang dilaknat Tuhan atau sebuah “kepingan sungai” yang diberikan kepada mereka yang sukses mengelola bumi ciptaan-Nya? inikah makna ayat al-Qur’an: wa laqad katabna fT al-zabUr mm ba’di al-dzikri anna aI-’ardha yaritsuha ‘ibadiya al-shalihun? (Sungguh seperti telah disebut dalam kitab Zabur dan Iauh aI-mahfuz bahwa Bumi ini hanya akan dikuasai oleh orang-orang yang profesional).
Fakta empirik kehidupan negeri singa itu seperti menampilkan sebuah sosok “Islam natural” dengan indikasi bersih, sehat, aman, dan tertib. Islam ialah semua hal tentang kebaikan, ketertiban, dan kenyamanan hidup. Mungkinkah malaikat pencatat maksiat kehabisan pekerjaan dan setan kehilangan teman di negeri itu? “Islam kultural” atau “Islam ritual” tampak harus berhadap-hadapan atau bersaing dengan fakta “Islam natural”. Dalam rumusan yang lebih kompetitif: bagaimana “Islam natural” itu kemudian berkembang ke arah “Islam ritual” atau bagaimana “Islam ritual” itu berkembang menjadi “Islam natural”?
Secara empirik, banyak fakta kehidupan warga singa Itu merupakan manifestasi bentuk Islam, walaupun mereka tidak menyatakan beriman (secara formal) kepada Allah dan wahyu serta rasul-Nya. Sementara itu, mereka yang menyatakan secara formal beriman dan menjadikan al-Qur’an sebagai kitab suci dan Muhammad sebagai utusan Tuhan ternyata kehidupan empiriknya belum benar-benar bebas dan “pembangkangan natural” kepada Tuhan dan wahyu serta rasul-Nya. Nilai-nilai ajaran Islam bisa tampil dengan amat baik dalam kehidupan mereka yang kita sebut kafir, dan sebaliknya.
Bagaimana perbedaan kehidupan empirik dan kedua model kehidupan manusia itu saling berdialog da bertukar wacana? Bisakah kita menunda menggunakan ideologi ritual formal dan ideologi natural sehingga bisa saling membuka diri dan berdialog secara jujur? Tujuannya sederhana, agar kita bisa saling bertukar pengalaman bagaimana mengelola ciptaan Tuhan ini dengan baik dan penuh manfaat bagi manusia.
Layaklah dipertimbangkan sebuah tesis bahwa kebenaran universal Islam itu mengandung makna kompatibilitasnya dengan pengalaman universal bangsa-bangsa di dunia sepanjang sejarah dan dengan puncak-puncak temuan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Islam bisa berada di mana saja dalam pengalaman hidup manusia di semua tempat, di seluruh etape sejarah, dan di seluruh pojok dunia global. Realitas Islam dalam kehidupan empirik dan natural tidak hanya bisa diklaim komunitas yang secara formal menyatakan memeluk Islam sebagai agama, tetapi bisa juga berada dalam pengalaman semua orang, meski secara formal menyatakan menolak Islam sebagai kebenaran tunggal.
Buku ini antara lain menyajikan pengalaman universal tersebut, terutama dalam pemberantasan korupsi. Penting untuk membaca buku ini dan pengalaman orang lain dengan hati jernih, sementara nafsu mengklaim kebenaran tunggal yang selama ini kita yakni ditunda dulu. Dan sini kita bisa banyak belajar dan orang-orang dengan beragam budaya dan agama bahkan yang tidak beragama sekali pun. Dan sini seorang Muslim harus menjadi lebih cerdas karena ajarannya ada di mana-mana, di dalam gelaran alam dan peradaban semua bangsa serta temuan iptek.[]
Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan







SAMBUTAN
PENGURUS BESAR
NAHDLATUL ULAMA
Di Indonesia, persoalan korupsi nyaris menjadi hal biasa. Korupsi di Indonesia telah menjadi persoalan struktural, kultural, dan personal. Persoalan struktural karena telah melekat dalam sistem pemerintahan, termasuk partai politik, institusi militer, aparatur penegak hukum, dan Sebagainya, dan pusat hingga bawah. Sementara itu, persoalan kultural karena adanya kelaziman kolektif yang telah diterima sehingga menjadi kebiasaan dalam masyarakat di berbagai lingkungan sosial. Persoalan personal karena mentalitas korupsi yang menyatu dalam kepribadian orang Indonesia pada umumnya.
Selama ini korupsi dipandang sebagai dosa kecil yang bisa diampuni, apalagi jika sebagian hasil korupsinya disisihkan untuk ibadah atau sedekah fakir miskin dan anak yatim. Di akhirat nanti, timbangan pahala sedekah dan hasil korupsi bisa lebih berat dibanding dengan sanksi dosanya. Jika demikian, para koruptor dan penjahat politik bisa memperoleh ampunan dan masuk surga. Pemahaman yang seakan mengakali Tuhan (Allah) semacam itu sering menjadi pijakan umat beragama di Indonesia untuk korupsi. Hal kontradiktit yang sering terlihat di permukaan adalah bagaimana seseorang yang berperilaku ritual keagamaan dianggap saleh (shalat lima waktu, haji, puasa, berzikir, dan sedekah), tetapi di sisi lain melakukan perbuatan korupsi.
Hal ini banyak terlihat pada perilaku elite politik dan pejabat pemerintahan. Perbuatan korupsi dalam konteks agama sama dengan fasad (fasad), yakni perbuatan yang merusak tatanan kehidupan yang pelakunya dikategorikan melakukan jinayat al-kubra (dosa besar). Pelakunya harus dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kin atau tangan kiri dengan kaki kanan), atau diusir. Demikian pula jika seorang koruptor meninggal dunia, seyogianya jenazahnya tidak perlu dishalatkan kaum Muslim sebelum harta hasil korupsinya itu dijamin akan dikembalikan ahli warisnya kepada negara.
Karena tindak dan perilaku korupsi sudah sangat berkembang, baik bentuk, pola, dan modus operandinya, dan dampak yang diakibatkannya sangat merugikan, tidak hanya personal, tetapi juga komunal bahkan sebuah bangsa, maka korupsi bisa dipahami sebagai suatu perbuatan yang tidak dimaafkan (syirk). Anehnya, banyak orang tidak menyadarinya, seolah-olah korupsi itu dianggap persoalan kriminal biasa, bahkan sering dianggap perbuatan umum dan wajar. Padahal, dampak yang diakibatkan tindak perilaku korupsi menghancurkan sendi-sendi tatanan kehidupan masyarakat, bahkan membahayakan keutuhan masyarakat dan bangsa.
Salah satu cara melakukan pemberantasan korupsi dalam perspektif agama adalah dengan mengubah cara pandang mereka (umat) tentang ajaran agama itu sendiri. Jika para alim ulama memfatwakan (ijma’ sukuti) bahwa korupsi itu haram dan merupakan bagian dan perbuatan syirik (perbuatan yang tidak diampuni dosanya), kemungkinan besar pemahaman pikir umat akan berubah. Mengubah persepsi nalar manusia (teologis) menjadi sesuatu yang penting dalam upaya pemberantasan korupsi lantaran .korupsi tidak hanya soal perilaku, tetapi soal pemahaman berpikir. Manusia dalam perilakunya dipengaruhi situasi-situasi religiusitas yang dipercayainya yang mendorong untuk menaatinya.
Sebagai contoh, jika seseorang datang ke masjid, maka tercipta suasana hening, sopan, tidak berpikir nakal, tidak mau berbuat salah (mencuri, misalnya), dan cenderung ramah terhadap orang lain. itu menunjukkan bahwa masjid adalah tempat beribadah yang tidak boleh dikotori baik dalam konteks pola berpikir, perilaku, dan perbuatan. Bagaimana modus pemahaman seperti masjid itu bisa diaplikasikan di kantor departemen, tempat-tempat umum, pasar, dan lainnya, di mana eksistensi keberadaannya tidak dilanggar sesuai fungsi yang sudah diatur dan melekat pada diri manusia baik secara personal (individu) maupun secara sosial.
Pendekatan pemberantasan korupsi dilakukan melalui dua pendekatan, pertama, pendekatan politik dan hukum. ini adalah tugas pemerintah. Pemerintah bertugas membuat aturan dan mengimplementasikan aturan tersebut.
Ketidakefektifan upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah dikarenakan pemerintah terjebak pada pembuatan perangkat-perangkat aturannya, tetapi tidak konsisten untuk mengimplementasikannya. Budaya hukum tidak diperhatikan dan dibangun dalam kehidupan pemerintahan, sedangkan aparat hukum track record-nya tidak terlihat sebagai aparat hukum yang tegas dan anti KKN. Kedua, melalui pendekatan budaya. Dalam hal ini, NU sebagai organisasi sosial kemasyarakatan dapat membantu pemerintah dalam upaya mempertegas pemberantasan korupsi dengan cara baik melalui social pressures, input. berupa masukan saran, dan penyadaran masyarakat.
NU sadar bahwa memberantas korupsi bukanlah pekerjaan gampang dan itu tidak bisa dilakukan ala kadarnya. Memberantas korupsi dalam konteks Indonesia harus dilakukan secara holistik dan komprehensif serta sistematis, tidak bisa dilakukan secara parsial. Hal itu terjadi karena persoalan korupsi di Indonesia sudah memasuki seluruh bidang kehidupan sosial dan pemerintahan serta bersifat sangat mengakar (laten) dalam budaya hid up, perilaku, dan cara berpikir. Sementara itu, pada saat bersamaan tidak. ada kemauan politik dan hukum yang serius dan pemerintah untuk menumpasnya.
NU memiliki modal sosial yang sangat berarti untuk menumbuhkan etika dan perilaku antikorupsi sehingga sangat dimungkinkan gerakan nasional pemberantasan korupsi menjadi bagian dan komitmen organisasi. Komitmen tersebut didasari pada kenyataan bahwa Indonesia semakin terpuruk akibat perilaku korupsi, selain belum tumbuhnya kesadaran dan kemauan masyarakat untuk menjadikan persoalan korupsi sebagai bagian dan jihad dalam agama.
Buku ini memberikan kerangka dasar yang bisa dijadikan renungan dan sandaran untuk melakukan pemberantasan korupsi melalui jalur pendekatan ajaran agama Islam. Kerangka pikir konseptual yang bersifat filosofis, teologis, dan fiqhiyyal) didasarkan pada nas (nash) al-Qur’an dan hadis sebagai sebuah landasan ajaran Islam yang mengamanatkan untuk melakukan perbuatan amar ma’ruf nahi munkar. Selain itu, kekayaan khazanal, pemikiran para ulama Muslim juga menjadi landasan konseptual dalam buku ini. Secara praksis, buku ini memberikan pijakan sebuah pengalaman berharga tentang bagaimana implementasi ajaran yang dilakukan umat Muslim untuk mengatasi masalah-masa j sosial, termasuk di dalamnya adalah korupsi. Semoga buku ini secara konseptual dan praksis memberikan perubahan dalam kerangka gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.[]
WalIah al-muwafiq ha ‘aqwam ai-thariq
Wassajamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
ttd
KH. A. Hasyim Muzadi
(Ketua Umum PBNU 2004—2010)






SAMBUTAN
TIM KERJA GNPK—PBNU


Assalamu ‘akiikum warahmatullahi wabarakatuh.
Realitas korupsi telah mengalami perkembangan sedemikian kompleks baik bentuk, pola, modus operandi, dan dampak yang diakibatkan; bersifat tidak hanya personal, tetapi juga sistemik. Oleh karena itu, muncul pemahaman bahwa korupsi sama dengan perbuatan yang tidak dapat dimaafkan. Anehnya, banyak kalangan tidak menyadari hal tersebut, seolah-olah korupsi adalah persoalan kriminal biasa, bahkan juga kerap dianggap sebagai sebuah kewajaran. Padahal dampak yang diakibatkannya justru menghancurkan sendi-sendi sekaligus tatanan kehidupan masyarakat dan bangsa.
Hal terpenting bagi upaya pemberantasan korupsi dalam perspektif agama adalah mengubah cara pandang umat tentang korupsi berdasar pada ajaran agama itu sendiri. Jika para ulama memfatwakan bahwa korupsi adalah haram, maka bukan suatu hal yang tidak mungkin bahwa akan terjadi perubahan pola pikir di tengah pemeluk agama. Mengubah persepsi, nalar manusia (teologis) menjadi sesuatu yang penting dalam upaya pemberantasan korupsi karena persoalan korupsi tidak hanya soal perilaku, tetapi soal pola pikir. Manusia dalam perilakunya dipengaruhi situasi-situasi religius yang dipercayainya sehingga mendorongnya untuk menaati.
Dengan demikian, dibutuhkan rumusan baru untuk memberi sandaran kepada umat dalam memahami korupsi sebagai sebuah penyakit bangsa yang harus dihilangkan dan upaya memberantas korupsi sama dengan jihad. Rumusan baru tersebut diharapkan menjadi “ruh” teologis sekaligus landasan bagi gerakan pemberantasan korupsi. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, Tim Kerja Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi-Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (GNPK-PBNU) membuat sebuah rumusan dan pemahaman sistematis tentang korupsi dalam perspektif Islam yang dituangkan ke dalam sebuah buku. Program penyusunan buku itu ikut dilakukan oleh Tim Kerja GNPK-PP Muhammadiyah sehingga prosesnya juga sebagian dilakukan secara bersama-sama.
Buku ini disusun dan ditulis melalui proses panjang dan melelahkan. Beberapa tahapan yang dilalui dalam proses penyusunan buku ini dimaksudkan sebagai upaya membangun ijma’ sukuti tentang persoalan korupsi serta permasalahan yang melingkupinya sekaligus sosialisasi bahwa NU mempunyai komitmen terhadap upaya pemberantasan korupsi. Materi buku ini disistematisir, ditulis, dan disusun berdasar pada pemikiran dan pembahasan para ulama, cendekiawan, akademisi, dan praktisi dari berbagai disiplin ilmu baik sosial maupun agama.
Selain itu, tim penyusun turut terlibat langsung dalam tahapan proses penyusunan buku ini. Pertama, roundtable discussion (diskusi prahalakah). Kegiatan tersebut dilakukan dengan hasil membuat rumusan tentang bagaimana buku ini akan disusun, meliputi pokok bahasan Bahtsul Masail NU dan halakah Majelis Tarjih Muhammadiyah, kerangka-isi buku, metodologi penyusunan buku, kerja tim perumus/penyusun, serta cara pengambilan hukum. Kegiatan ini diikuti utusan dan NU, Muhammadiyah, dan dari luar NU-Muhammadiyah.
Kedua, halakah dan Bahtsul Masail (pembahasan masalah korupsi). Kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai penggalian materi isi buku yang melibatkan peserta dan NU dan praktisi di luar NU. Kegiatan ini dilaksanakan internal NU. Hasil yang diharapkan adalah adanyarumusan pembahasan tentang masalah korupsi dan kesepakatan (ijma’) para ulama dan cendekiawan mengenai masalah korupsi, aspek hukum dan pemberantasannya. Halakah dan. Bahtsul Masail itu dilaksanakan dua kali, yakni di Surabaya dan Semarang, yang dilkuti peserta yang sama.
Ketiga, proses penyusunan buku. Tim perumus yang mendampingi selama kegiatan roundtable dan Bahtsul Masail bertugas mencatat seluruh hasil yang disepakati dalam tiga kegiatan tersebut. Tim perumus itu, kemudian men sistematisir, menulis, dan melakukan penyusunan terhadap buku. Ada lima tim perumus yang terlibat dan tiga orang Sebagai penyusun. Proses penyusunan Buku membutuhkan waktu agak panjang dengan harapan proses yang serius akan menghasilkan kualitas yang baik dan bisa dipertanggungjawabkan.
Keempat, proses legitimasi institusi NU. Karena buku ini adalah buku yang dikeluarkan oleh NU, maka draf buku yang telah disusun dikoreksi (tashhih) Tim Kontributor (Editor) Ahli untuk memperoleh hasil yang sempurna sebagaimana menjadi harapan semua pihak. Tim ini terdiri dan ulama, cendekiawan, akademisi, dan praktisi NU. Setelah selesal proses koreksi (tshfiih), draf diserahkan kepada Tim PBNU, dalam hal ini Syuriyah PBNU untuk mendapatkan legitimasi institusi (organisasi).
Kelima, seminar dan sosialisasi buku. Tujuan penyusunan buku ini adalah agar bisa dijadikan rujukan, terutama warga NU, menyangkut korupsi dan upaya pemberantasannya. Rangkaian kegiatan yang dilakukan adalah peluncuran buku yang dilaksanakan bersama-sama dengan buku yang disusun Muhammadiyah. Setelah peluncuran buku, diadakan bedah buku yang dilaksanakan di Surabaya dan Semarang.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini tidak hanya ditujukan untuk memberikan informasi atau pengetahuan baru tentang korupsi, tetapi untuk menanamkan nilai serta mengubah pola pikir masyarakat bahwa korupsi adalah perbuatan yang harus dihindari. Lewat buku ini pula, diharapkan nantinya dapat menjadi “ruh” teologis dan fiqh (hukum) sekaligus landasan gerak bagi gerakan pemberantasan korupsi. Buku.tafsir tematik ini akan menjadi spirit yang menjiwai setiap gerakan pemberantasan korupsi secara menyeluruh.
Dengan mengucap syukur alhamdulillah, seluruh proses telah berhasil dilalui dengan baik sehingga akhirnya buku ini hadir dan dapat dibaca khalayak. Diterbitkannya buku ini, tentu tidak terlepas dan dukungan dan bantuan semua pihak, baik material maupun spiritual.
Terima kasih kami sampaikan kepada Rois Aam PBNU, Dr. KH. M.A. Sahal Mahfudh dan kepada Ketua Umum PBNU, KH. A. Hasyim Muzadi. Kepercayaan dan dukungan yang diberikan kepada Tim Kerja GNPK-PBNU untuk menerbftkan buku ini merupakan suatu modal besar yang sangat berharga.
Selanjutnya, kami sampaikan pula terima kasih kepada Partnership/Kemitraan (UNDP) yang telah banyak membantu selama proses penyusunan buku. Tak lupa pula terma kasih kami sampaikan kepada Tim Kerja GNPK-PP Muhammadmyal, atas kerja sama yang baik. Kerja sama yang sinergis selama ini sungguh telah membantu mempermudah terbitnya buku ini set-ta menunjukkan kerja sama dan dua organisasm kemasyarakatan.
Demikian juga terima kasih kami sampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Transparency International Indonesia (TIl). Sumbangan pemikiran, gagasan, dan ide telah begitu memperkaya wacana dan pengetahuan dalam buku ini.
Apresiasi kami berikan pula kepada para narasumber, seperti KH. Masdar F. Mas’udi, Dr. Saldi Isra, KH. A. Malik Madany, dan lain-lain yang tak dapat disebutkan satu per satu. Masukan, knitik, dan saran sungguh sangat berharga dalam upaya menyempumakan 151 dalam buku ini serta langkah GNPK selanjutnya. Secara khusus kepada tim perumus yang terdini dan; KH. Dr. H. Masyhuni Naim selaku koordinator, Imdadun Rahmat, M.Si, Dr. Nun Rofi’ah, dan Drs. H. Masrur Ainun Najib. Terima kasih kami sampaikan atas waktu, pikiran, dan tenaga yang dicurahkan untuk menyelesaikan penyusunan buku ini. Kepada Tim Kerja GNPKPWNU Jawa Timur dan GNPK-PWNU Jawa Tengah serta para fasilitator; Drs. Enceng Shobirin Nadj dan Drs. Adnan Anwar, kami merasa sangat terbantu.
Akhirnya, cita-cita akan terciptanya kehidupan masyarakat yang bebas korupsi pastilah bukan sesuatu yang jatuh dan langit. Bukan pula sesuatu yang datang dengan sendirinya. Jalan panjang penuh liku, hambatan, dan rintangan pasti akan mengadang. Oleh karena itu, dibutuhkan kesabaran dan kegigihan dalam mengemban tugas berat itu. Kepada semua pihak yang memiliki komitmen terhadap pemberantasan korupsi, semoga jerih payah yang telah dilakukan dapat menjadi sumbangan yang berarti bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, teruslah berjuang demi sebuah bangsa yang bermartabat. Semoga kehadiran buku ini dapat menjadi semangat dan inspirasi bagi upaya mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sehat dan bersih dan korupsi. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.[]
WalIaFi aI-muwafiq ha ‘aqwam aI-thariq
Wassolamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
ttd ttd
H.M. Rozy Munir, SE.M.Sc (Wakil Penanggung Jawab)
Syalful Bahri Anshoni (Manajer Program)