Minggu, 28 Juni 2009

Hukum Pidana Islam (Peluang, Prospek dan Tantangan)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah hukum pidana hadir sebagai isu yang paling kontroversial dalam perdebatan tentang penerapan syariat. Sejumlah problem hukum materiil, pembuktian dan prosedur (hukum acara) muncul karena prospek implementasi cabang syariat ini.
Walaupun negara Republik Indonesia tidak dapat di sebut negara Islam dan pengakuan terhadap Piagam Jakarta pun tidak berarti telah terbentuk negara Islam, pengakuan terhadap Piagam Jakarta dalam Dekrit Presiden RI 1959 dapat diartikan bahwa hukum Islam berlaku bagi pemeluk-pemeluknya sebagaimana politik hukum Hindia Belanda tahun 1929.
Ditengah berkembangnya keinginan untuk menerapkan Hukum Pidana Islam, ada isu-isu penting yang harus didiskusikan yaitu tentang adanya prakondisi penegakan hukum pidana Islam dan berharap dapat memberikan semangat dalam melaksanakan ajaran Islam yang telah jauh ditinggalkan.
Disadari pula bahwa dewasa ini sering kali umat Islam dibingungkan oleh keanekaragaman mazhab hukum. Munculnya berbagai pendapat di bidang hukum Islam di satu pihak menimbulkan kesan tidak adanya kepastian hukum yang mesti dianut dan di lain pihak menyediakan berbagai alternatif yang bisa dipilih sesuai dengan kondisi kata hati pemluk Islam. Oleh karena itu, upaya yang luwes ialah memunculkan kajian perbandingan mazhab dengan mengajukan masalah serta pendapat dari setiap mazhab dengan argumentasi masing-masing. Setelah itu dilakukanlah analisis dan penetapan pendapat yang dinilai lebih kuat argumentasinya. Cara ini merupakan upaya terobosan menembus kebekuan ijtihad.
Upaya serupa ini dilakukan pula oleh masyarakat Indonesia seperti didirikannya Majlis Tarjih oleh Muhammadiyah.
[1] Namun, upaya seperti ini masih terbatas pada bidang-bidang tertentu sehingga belum ada putusan yang sama dan berlaku untuk suatu kawasan Nusantara. Dengan demikian, upaya kompilasi hukum Islam yang akan menjadi referensi utama para hakim di negeri ini menjadi amat penting serta mendapat topangan metodologi hukum yang kuat dan jelas.

B. Permasalahan
Dalam makalah yang sederhana ini, kami mencoba untuk mengulas tentang bagaimana Peluang, Prospek dan Tantangan Hukum Pidana Islam khususnya di Indonesia.

BAB IIPEMBAHASAN

A. Potret Hukum Pidana Islam
Hukum pidana Islam yang kerap tergambar di media massa adalah kejam dan tidak manusiawi, padahal kesan semacam itu muncul karena tidak melihat secara utuh dan menyeluruh. Hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam, misalnya hukum potong tangan sering dituding terlampau kejam dan tidak adil. Padahal hukuman ini baru dijatuhkan ketika sejumlah persyaratan yang ketat terpenuhi.
Di dalam hukum pidana Islam dikenal beberapa asas-asas penting seperti asas legalitas, asas tidak berlaku surut, asas praduga tak bersalah, tidak syahnya hukum karena keraguan, prinsip kesamaan dihadapan hukum. Sehubungan dengan hal ini, para ahli hukum pidana barat mengklaim bahwa asas-asas di atas berasal dari hukum pidana mereka dan ini dianggap tidak adil karena lebih dari 14 abad yang lalu hukum pidana Islam telah menjadi pionir dalam penerapannya dengan landasan yang valid, yakni AL-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.
Pembuat hukum pidana Islam tidak menyusun ketentuan-ketentuan hukum dari syariat tanpa tujuan apa-apa, melainkan terdapat tujuan tertentu yang luas. Dengan demikian, untuk memahami pentingnya suatu ketentuan, mutlak perlu diketahui apa tujuan dari ketentuan itu. Para ahli hukum Islam mengklasifikasikan tujuan-tujuan yang luas dari syariat sebagai berikut :
1. Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup merupakan tujuan pertama dan utama dari syariat. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidaktertiban dimana-mana.
2. Menjamin keperluan hidup (keperluan sekunder).
3. Membuat berbagai perbaikan yaitu menjadikan hal-hal yang dapat menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik.
[2]
Klasifikasi kejahatan dalam hukum pidana Islam terbagi dalam tiga bagian yaitu : hudud, qishash dan ta’zir. Kejahatan hudud adalah kejahatan yang paling serius dan paling berat dalam hukum pidana Islam. Kejahatan dalam kategori ini diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang ditentukan sebagai hak Allah, dalam arti baik kuantitas maupun kualitasnya ditentukan dan ia tidak mengenal tingkatan.

B. Peluang, Prospek dan Tantangan Hukum Pidana Islam di Indonesia
Negara Indonesia, secara statistik mayoritas penduduknya beragama Islam.
[3] Sistem perundang-undangan yang dianut dan berlaku lebih mengacu pada sistem perundang-undangan yang berlaku di negara-negara Barat. Hal ini menunjukkan sekulerisme masih dipertahankan. Dicoretnya tujuh kata pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yaitu… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya… yang dikenal dengan Piagam Jakarta, merupakan bahwa bangsa Indonesia pada waktu itu menolak diformalkannya sistem perundang-undangan atau syariat Islam, bagi bangsa Indonesia yang memeluk agama Islam. Penolakan tersebut didasarkan atas pertimbangan politik bahwa warga negara Indonesia Indonesia terdiri dari beragam pemeluk agama. Di sisi lain umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia mentolerir umat agama lain yang minoritas, demi keutuhan bangsa.
Seperti halnya yang berlaku di negara-negara sekuler pada umumnya, negara tidak mencampuri urusan agama, dan menyerahkannya kepada pemeluk agama masing-masing. Dalam sistem perundang-undangan dan sistem pemerintahan di negara kita, urusan yang menyangkut bidang keagamaan – dalam hukum Islam disebut ibadah khusus – dikoordinasikan di bawah Departemen Agama. Pemerintah atas dasar yuridis hanya berperan sebagai motivator, walaupun pada momen-momen tertentu aspek keagaamaan dimanfaatkan oleh banyak pihak demi kepentingannya, baik oleh para politisi, para ekonom, budayawan dan bidang lainnya. Hukum Islam yang mendapat posisi dalam sistem perundang-udnangan di Indonesia dan legalitasnya diakui adalah Hukum perdata kewarisan.
Para provokator hukum, menilai hukum pidana Islam tidak cocok untuk bangsa Indonesia. Disamping penduduk Indonesia terdiri dari beragam pemeluk agama, dianggapnya tidak sesuai dengan asas perikemanusiaan. Hukum Islam tentang pidana dinilainya terlalu kejam, sadis dan menakutkan lantara ada hukum qisas dalam delik pembunuhan, rajam dalam delik perzinaan, potong tangan dalam delik pencurian dan lain-lain hukuman yang cukup mengerikan terhadap para, pelaku kriminal, dan kurang mempertimbangkan aspek-aspek dan pertimbangan akan manfaat hukum secara utuh dan menyeluruh.
Dalam Islam, hanya dengan ketundukan kepada kehendak Allah, keteraturan dan kedamaian dunia dapat dicapai. Syariat Islam ditujukan dan digunakan sebagai instrument moralisasi dan juga agen pencegahan. Dan syariat Islam yang efektif dapat menggunakan lima pendekatan yaitu :
1. Syariat secara terus-menerus mendorong perbaikan individu dan menyucikan kesadarannya dengan ide-ide Islam yang tinggi dan moralitas yang luhur.
2. Syariat dengan seimbang memperingatkan manusia untuk tidak melakukan kejahatan dan mengancam pelakunya dengan hukuman berat didunia dan diakhirat.
3. Syariat memerintahkan umat Islam untuk saling tolong menolong dalam kebaikan dan kesabaran dengan memberikan bimbingan, dorongan moral, dan pengajaran agama.
4. Syariat mencegah kejahatan dengan menutup jalan yang dapat menyebabkan dilakukannya perbuatan itu.
5. Syariat mempersiapkan umat Islam sebagai antisipasi kecenderungan moral manusia dengan jalan mendukung perkawinan di usia muda, membolehkan poligami secara terkontrol dan mewajibkan bagi orang-orang yang mampu untuk mengeluarkan sebagian hartanya bagi orang-orang yang kurang beruntung.


Hukum pidana yang berlaku di Indonesia hingga kini merupakan peninggalan penjajah Belanda yang dilandasi oleh falsafah yang dianut bangsa Indonesia, seperti mengutamakan kebebasan, menonjolkan hak-hak individu dan kurang berhubungan dengan moralitas. Ancaman pidana yang dijatuhkan oleh para hakim di sidang pengadilan seringkali tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, khususnya korban kejahatan dan keluarganya. Ditambah lagi dengan faktor krisis multidimensi dan lemahnya penegakan hukum, masyarakat yang terhimpit berbagai beban bangkit melakukan perlawanan secara massal terhadap berbagai macam kejahatan dan akibatnya sering sangat fatal.
Bagi umat Islam, tidak ada pilihan lain selain meyakini bahwa menjalankan syariat Islam merupakan bagian dari menjalani agamanya secara kaffah. Syariat Islam berfungsi melindungi kepentingan hidup yang paling mendasar, maka ia harus dilaksanakan. Melalui penegakan syariat Islam inilah hukum pidana Islam lahir menjadi kenyataan dan dapat menunjukkan fungsinya.
Untuk penegakan hukum pidana Islam, masih banyak kendala-kendala yang dihadapi seperti :
1. Kendala kultural atau sosiologis, yakni adanya umat Islam yang masih belum bisa menerima.
2. Kendala fikrah (pemikiran), yaitu banyaknya pandangan negatif terhadap hukum pidana Islam dan kurang yakin dengan efektivitasnya.
3. Kendala filosofi berupa tuduhan bahwa hukum ini tidak adil bahkan kejam dan ketinggalan zaman serta bertentangan dengan cita-cita hukum nasional.
4. Kendala yuridis yang tercermin dari belum adanya ketenttuan hukum pidana yang bersumber dari syariat Islam.
5. Kendala konsolidasi, yaitu belum bertemunya para pendukung pemberlakuan syariat Islam (dari berbagai kalangan yang masih saling menonjolkan dalil (argumen) dan metode penerapannya masing-masing.
6. Kendala akademis, yaitu terlihat dari belum meluasnya pengajaran hukum pidana Islam disekolah atau kampus-kampus.
7. Kendala perumusan yang terlihat dari belum adanya upaya yang sistematis untuk merumuskan hukum pidana yang sesuai syariat Islam sebagai persiapan mengganti hukum pidana barat.
8. Kendala struktur yang terlihat dari belum adanya struktur hukum yang dapat mendukung penerapan syariat Islam.
9. Kendala ilmiah, tercermin dari kurang banyaknya literatur ilmiah yang mengulas hukum pidana Islam.
10. Kendala politis, terlihat dari tidak cukupnya kekuatan politik untuk menggolkan penegakan syariat Islam melalui proses-proses politik.

C. Aspirasi Syariat Islam Di Era Otonomi
Pada tahun-tahun terakhir ini, terlihat adanya perkembangan aspirasi syariat Islam yang tercermin dari maraknya wacana, sikap, upaya, legislasi, hingga tindakan konkrit. Aspirasi syariat Islam bergulir diberbagai daerah seperti di Sumatera Barat, Tasikmalaya, Jakarta, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Cianjur dan banyak lagi. Salah satunya tercermin dalam rancangan Peraturan Daerah (Raperda) yang dimaksudkan untuk memberantas kemaksiatan di wilayah tersebut. Dalam salah satu klausulnya, Raperda itu melarang media massa mengekspos atau menyebarluaskan hal-hal yang berkaitan dengan kemaksiatan.
Misalnya pemberlakuan hukum-hukum berdasarkan nilai-nilai syariat Islam harus didukung oleh lembaga peradilan khusus syariat Islam. Pasal 25 UU No. 18 Tahun 2001 menyatakan :
1. Peradilan syariat Islam di Propinsi Nangroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syariah yang bebas dari pengaruh pihak manapun.
2. Kewenangan Mahkamah Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional, yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam.
3. Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan bagi pemeluk ahama Islam.
Syariat Islam yang menjadi dasar dan nilai-nilai dalam RUU NAD merupakan peraturan umum yang akan berlaku di Aceh bagi seluruh penduduknya. Dengan begitu, mereka yang non muslim harus tunduk terhadap peraturan umum tersebut, kecuali dalam ibadah.

BAB IIIKESIMPULAN

Dari pembahasan yang sangat singkat ini, akhirnya sampailah kita pada kesimpulan yang dapat kita rangkum sebagai berikut:
1. Kita mengetahui negara Republik Indonesia tidak dapat disebut negara Islam namun setidak-tidaknya pengakuan terhadap Piagam Jakarta berarti telah diakuinya Hukum Islam sebagai bagian Hukum di Negara. Namun umat Islam sebagai mayoritas bangsa Indonesia mentolerir umat agama lain yang minoritas, demi keutuhan bangsa.
2. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan diberlakukannya Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darusalam telah membuka membuka mata kita, bahwa ternyata hukum Islam dapat diterima di suatu wilayah yang ternyata bukan keseluruhannya beragama Islam.
3. Syariat Islam yang menjadi dasar dan nilai-nilai dalam RUU NAD merupakan peraturan umum yang akan berlaku di Aceh bagi seluruh penduduknya. Dengan begitu, mereka yang non muslim harus tunduk terhadap peraturan umum tersebut, kecuali dalam ibadah.

DAFTAR PUSTAKA
Dr. Juhaya S. Praja. 1991. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Topo Santoso, 2003, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta
Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum. Departemen Agama RI. 2002
[1] Dr. Juhaya S. Praja. 1991. Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Hlm. xxiv
[2] Topo Santoso, 2003, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Inasani, Jakarta. hlm. 45
[3] Islam untuk Disiplin Ilmu Hukum. Departemen Agama RI. 2002, hlm. 311